Halaman

Sabtu, 30 April 2011

Warna Dalam Arsitektur

Pengertian warna

“Warna”, kita sudah tidak asing lagi mendengar ataupun melihatnya. Karena semua yang ada di alam semesta ini mempunyai warna. Warna adalah sesuatu yang berhubungan dengan emosi manusia dan dapat menimbulkan pengaruh psikologis. Sebagai contoh, kita dapat merasa nyaman dengan adanya warna. Kita dapat merasakan sesuatu seperti ketenangan, bebas, bahkan kita bisa merasakan panas atau tertekan sesuai dengan karakter warna itu sendiri.

Dalam dunia Arsitektur, warnapun berperan penting. Sebagai contoh, untuk pewarnaan tembok bangunan ataupun furniture yang ada di bangunan tersebut, sang arsitek harus memikirkan matang-matang warna apa yang cocok untuk bangunan yang ia bangun. Apakah warna yang dipakai sesuai dengan fungsi bangunan tersebut atau apakah menyamankan bagi pengguna bangunan tersebut. Seperti warna bangunan rumah sakit tentu tidak sama dengan warna untuk bangunan Sekolah Taman Kanak-kanak. 

Dan kepintaran sang arsitek dalam mengkombinasikan antara satu warna dengan yang lain. 

Untuk itu sang arsitek harus memahami akan karakter dari warna yang akan dipakai.

Untuk mengetahui karakter dari warna, tentunya kita harus memahami pengertian dari warna. 

Dengan ilmu alam, warna adalah gelombang cahaya, yang dasar-dasar teorinya dikemukakan oleh Newton. Menurut Newton, warna merupakan bagian sinar dalam spektrum yang tergantung pada gelombang cahayanya.

Kita ingat akan teori Newton tentang spektrum warna akibat berkas cahaya matahari yang melalui sebuah prisma. Urutan warna dalam spectrum warna terdiri dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu kemudian lebih dikenal sebagai lingkaran warna. 

Disamping warna-warna murni dikenal juga warna-warna kutub yang sebenarnya bukan merupakan warna, yaitu putih dan hitam. Pencampuran sutau warna murni dengan warna putih atau hitam akan menghasilkan skala warna lain yang disebut warna-warna pastel. Jadi warna murni dicampur putih akan menjadi warna muda (tint). Warna murni dicampur hitam akan menghasilkan warna tua (shade). Sedang warna murni dicampur warna abu-abu akan menghasilkan warna tanggung (tone).


Karakter Warna

Penerapan warna pada komposisi secara psikis dapat :

    * Member kesan tertentu pada ruang
    * Mempengaruhi dan mendorong kemauan kerja
    * Mendorong memusatkan perhatian
    * Mendorong kesenangan kerja
    * Membantu penerangan
    * Mempertinggi keselamatan kerja
    * Membantu orientasi kerja
    * Membantu aspek kebersihan


Karakter warna dapat ditentukan oleh hal-hal berikut :

Hue :
adalah corak atau nada warna, yaitu kesan pertama terhadap suatu warna dengan mengabaikan value dan intensitas warna. Contoh Hijau daun.

Value : adalah nilai terang gelap warna, diukur terhadap hitam dan putih dengan mengabaikan hue dan intensitas warna. Contoh warna kuning jeruk.

Intensitas : adalah kuat dan lemahnya warna diukur terhadap warna abu-abu yang netral. Kekuatannya akan bertambah ke arah paling terang. Intensitas menunjukan jumlah hue yang bebas dari unsur putih.



Warna dapat dibagi menurut :

* Kemurnian

             1) Warna pokok atau primer, terdiri dari tiga warna :

                    -          Merah
                    -          Biru
                    -          Kuning




2) Warna sekunder, merupakan percampuran warna primer, jadi :

                    -          Jingga adalah campuran warna merah dan kuning
                    -          Hijau adalah campuran warna biru dan kuning                    -          Ungu adalah campuran warna merah dan biru






  * Temperatur

             Temperatur suatu warna tidak mempunyai landasan fisik, tetapi ada pembagian warna :

             1) Panas, yaitu warna-warna yang terang, merangsang bila digunakan untuk mewarnai objek dan objek akan nampak lebih besar.

                  Contoh : warna merah sampai kuning dalam lingkaran warna

             2) Dingin, yaitu warna-warna yang dapat memberi kesan dingin dan sejuk serta akan mempersempit atau memperkecil objek.

                  Contoh : Hijau sampai violet dalam lingkaran warna

              3)  Netral, yaitu warna di tengah-tengah dalam lingkaran warna, sering digunakan sebagai aksen atau penekanan objek : misalnya warna coklat


Warna memiliki karakter tertentu yang dapat memberikan kesan tertentu seperti :

Jenis Warna      Karakter
Kuning                bebas, ceria
Kuning hijau        tenang, menyegarkan
Hijau                   tenang, ramah, cendekia
Hijau biru            angkuh, mantap
Biru                    keras, dingin
Biru ungu            sombong, khayal yang tinggi
Ungu                  eksklusif, ekstrim
Ungu merah        tegang, peka
Merah                panas, melelahkan urat syaraf
Jingga                gembira, bergairah
Jingga Kuning     lincah, bergairah
Abu-abu             menenangkan
Biru hitam          menekan
Coklat hitam      menolak, menghindar
Coklat               kehangatan, alami
Putih                 kesucian, kemurnian, kebersihan, spiritual,cinta
Hitam                formal, kematian, duka cita, keagungan,misteri


Lingkaran Warna

Lingkaran warna yang terbagi atas merah, kuning, dan biru merupakan pembagian warna secara tradisional. Pada tahun 1966 Sir Isaac Newton merupakan orang yang pertama kali mengembangkan diagram warna. Dari pencobaannya, Newton menyimpulkan bahwa apabila dilakukan pemecahan warna spektrum dari sinar matahari, akan ditemukan warna-warna yang beraneka ragam meliputi merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu warna-warna ini sering disebut dengan MeJiKuHiBiNiU.

Diagram Lingkaran Warna oleh Herbert Ives

Warna-warna primer

Pada teori warna tradisional, terdapat 3 pigmen warna yang tidak dapat dicampur atau dibentuk dari kombinasi warna lain. Sedangkan warna lain dapat terbentuk dari 3 warna primer ini.

Biru, merah, dan kuning

Warna-warna sekunder

Warna-warna yang didapat dari mencampur dua warna primer.


Kuning + merah          =  jingga
Kuning+biru                = hijau
Biru+ merah               = ungu

Warna-warna tersier

Warna yang diperoleh dengan mencampur warna sekunder dan warna disebelahnya pada lingkaran warna.
Kuning+orange           = kuning orange (golden yellow)
Merah+orange            = merah orange (burnt orange)
Kuning+hijau              = kuning hijau (lime green)
Biru+ hijau                 = biru hijau (turquoise)
Biru+ungu                 = biru ungu (indigo)
Merah+ungu              =  merah ungu (crimson)



Pembangkit listrik tenaga nuklir

Krisis energi diperkirakan akan terjadi saat tahun 2030. Bila hal ini terjadi maka bencana besar akan terjadi pada kehidupan manusia di bumi ini. Temuan energi nuklir tampaknya jadi pilihan utama untuk mengantisipasi masalah itu. 

Salah satu petanda kecenderungan krisis energi adalah terjadi pemadaman bergilir terus terjadi. Hingga saat ini Indonesia masih menghadapi krisis energi. Setiap tahun pasokan energi listrik tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. 

Populasi penduduk Indonesia mengalami pertumbuhan tinggi, yaitu masih di atas 1 persen per tahunnya. Sedangkan pertumbuhan ekonominya bisa meningkat antara 5 persen-6 persen. Pertumbuhan populasi masyarakat modern, perkembangan ekonomi dan teknologi akan membutuhkan energi lebih banyak. 

Berdasarkan hasil studi untuk tahun 2025 di Indonesia setelah dihitung batu bara, gas, dan sumber lain, kebutuhan energi listrik akan meningkat tahun 2000 sebanyak 29 gigawatt, tahun 2025 akan meningkat 100 gigawatt. 

Sekarang kebutuhan energi sebesar 29 gigawatt dan 20 tahun mendatang kebutuhannya menjadi 100 gigawatt. Artinya, kebutuhan energi meningkat tiga kali lipat. Peningkatan ini tentunya berpengaruh pada sumber energinya. Saat ini saja cukup mungkin batu baradan gas masih cukup. Tetapi minyak bumi Indonesia telah menjadi importir minyak bumi. 

Krisis energi Tahun 2025-2030 

Beberapa ahli memprediksi situasi energi di Indonesia pasca 2030 sangat memprihatinkan. Saat itu Indonesia sudah menjadi negara pengimpor energi.
Pasca 2030 Indonesia diperkirakan sudah menjadi negara pengimpor energi karena produksi energi Indonesia yang sudah tak mampu lagi memenuhi konsumsi dalam negeri.Pasca 2030 batubara akan menjadi sumber energi utama bagi Indonesia dengan tingkat produksi batubara mencapai sedikitnya 517 juta ton per tahun. Cadangan batubara Indonesia hanya akan mencukupi hingga 20 tahun kemudian (sampai 2050). 

Sementara itu, minyak bumi pasca 2030 akan mengalami defisit mencapai 650 juta setara barel minyak yang hanya ditutupi oleh impor, sedangkan untuk LPG, Indonesia juga diprediksi akan mengimpor hingga 70 persen dari kebutuhannya yang mencapai 10 juta ton. 

Berbagai permasalahan kelistrikan di Indonesia, mulai dari produksi listrik hingga pada infrastruktur pembangkit listrik. Pada 2030 nanti Indonesia menghasilkan listrik hingga mencapai 687 Twh atau tumbuh 7,3 persen dari produksi 2009 yang mencapai 157 Twh dimana batubara akan menjadi bahan baku utama yang dominan sebagai pembangkit listrik dengan pangsa 45 persen. 

Dengan digunakannya batubara secara dominan, total emisi CO2 pada 2030 menjadi cukup tinggi, diperkirakan mencapai 1,2 miliar ton, di mana batubara menyumbang emisi CO2 hingga 844 juta ton atau 67 persen dari total energi pada 2030. Energi alternatif yang sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai listrik adalah panas bumi yang akan naik secara signifikan dengan pangsa sekitar 13 persen (16 GW) meski 85 persennya berada di Jawa-Bali dan pembangkit listrik berbasis sampah rumah tangga (biomassa) yang pangsanya 0,2 persen. 

Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah produksi minyak bumi kita cenderung menurun sehingga Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak terutama untuk memenuhi kebutuhan transportasi. Harga minyak bumi untuk pembangkit listrik sangat mahal dan cenderung naik. Bahkan setiap saat itu bisa meroket karena cadangan Indonesia dan dunia terus berkurang. Minyak bumi Indonesia diperkirakan akan habis sebelum 2025. 

Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas (Migas) di negeri sendiri, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal ini antara lain disebabkan tingginya ketimpangan antara produksi dan konsumsi energi nasional. Berdasarkan laporan Kementrian ESDM tahun 2009, rata-rata produksi minyak bumi dan kondensat sebesar 963.269 barel per hari (bph). Sedangkan laporan BP Migas, produksi minyak secara nasional pada tahun 2010 hanya naik pada kisaran 965.000 bph. Artinya terdapat angka kenaikan hanya 1.731 bph. Sementara kebutuhan konsumsi energi nasional sekitar 1.400.000 bph. Artinya terdapat selisih cukup tajam antara tingkat produksi yang ideal dengan kebutuhan. Selain itu, pesatnya pembangunan di bidang teknologi, industri, dan informasi memicu peningkatan kebutuhan masyarakat akan energi.
Ketimpangan antara tingkat produksi dan konsumsi energi tersebut mengakibatkan krisis energi skala nasional. Salah satunya adalah Krisis Listrik. Kenaikan Tarif Dasar Listrik beberapa saat lalu yang tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan publik, secara tidak langsung menyebabkan merosotnya pertumbuhan perekonomian nasional secara makro (di bawah 6% yang ditarget Pemerintah). PLN selaku operator listrik selalu beralasan bahwa, padamnya listrik diakibatkan tersendatnya pasokan bahan bakar ke pembangkit listrik PLN. Terhambat karena gangguan cuaca, karena stok bahan bakar habis, konsumsi listrik pelanggan begitu tinggi hingga melampau kapasitas cadangan PLN, dan lain-lain. 

Kementerian ESDM berusaha memperlambat laju penurunan produksi minyak bumi pada 2011 dari 12% menjadi 3% dengan optimalisasi lapangan yang ada dan pengembangan lapangan baru. Indonesia masih beruntung memiliki sumber energi lain, yaitu gas dan batu bara. Cadangan batu bara saat ini sebesar 19,3 miliar ton dengan target produksi 2010 adalah 320 juta ton. Apabila produksi batu bara stabil dan cadangan baru batu bara lapisan dalam sulit diambil, umur produksi batu bara hanya 60,3 tahun.
Umur produksi gas alam juga tidak jauh dari batu bara, yaitu 59 tahun berdasarkan status 2008 mencapai 170 tscf (trillion standard cubic feed – satuan volume gas) dan produksi per tahun mencapai 2,87 tscf. Meskipun ditemukan cadangan baru, produksi puncak minyak bumi dan gas tidak bisa ditingkatkan setelah 2010. Bahkan kecenderungannya akan menurun sampai habis. Bila produksi batu bara ditingkatkan untuk menggantikan sumber energi minyak bumi dan gas, puncak produksi diperkirakan terjadi sebelum 2040. Kemudian produksi akan menurun 6%-10% per tahun sampai habis pada 2080. 

Energi nuklir dan energi terbarukan 

Upaya penelitian, pengembangan, dan demonstrasi (PPD) energi nuklir dan energi terbarukan (ET) harus jadi perhatian dan dikembangkan. Pasalnya pada masa mendatang diperlukan pembangkit listrik ET dalam jumlah besar sehingga strategi PPD perlu segera dipastikan untuk mengatasi masalah ketersediaan energi listrik nasional dalam mendukung usaha peningkatan perekonomian nasional. Polemik energi nuklir memerlukan waktu yang panjang untuk diselesaikan sehingga target operasi PLTN bisa diundur sampai 2025-2030. PPD energi terbarukan perlu segera direalisasikan terutama sumber energi geotermal, matahari, dan bayu. Target kebutuhan kapasitas energi listrik 2025 akan lebih mudah dipenuhi daripada 2050.
Meskipun sumber energi geotermal, matahari, dan bayu dikembangkan secara maskimal, total kapasitas ketiga energi tersebut ditambah sumber energi air dan energi hanya bisa mencapai sekitar 80 Gwe. Padahal estimasi terbaik sumber energi batu bara dan gas hanya sekitar 80 Gwe. Artinya hampir sama sehingga total kapasitas menjadi 160 Gwe pada 2050. Estimasi terbaik ini belum bisa memenuhi estimasi terburuk permintaan kapasitas energi listrik nasional sehingga diperlukan sumber energi nuklir sebesar paling tidak 40 Gwe. Kebutuhan kapasitas PLTN total 40 Gwe sulit direalisasikan selama polemik energi nuklir belum selesai. Bangsa ini memerlukan gotong royong semua energi yang dimiliki, untuk mewujudkan peningkatan perekonomian nasinal secara terus-menerus, paling tidak sampai 2050 

Indonesia Butuh Tenaga Nuklir 

Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) menilai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sudah mendesak untuk mengatasi kekurangan energi pada 2025. Guna mengatasi kekhawatiran risiko buruk terhadap lingkungan, akan dibangun PLTN dengan teknologi pressurized water reactor (PWR). Namun sejumlah aktivis lingkungan telah mengungkapkan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN. Padahal PLTN yang dibangun bukanlah yang pertama kali. Indonesia telah memiliki tiga reaktor atau PLTN, yaitu di Bandung, Yogyakarta, dan Serpong. Bahkan di reaktor Bandung yang menghasilkan energi 9 megawatt, telah dibangun sejak 1964. 

Pembangkit listrik tenaga nuklir 

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah stasiun pembangkit listrik thermal di mana panas yang dihasilkan diperoleh dari satu atau lebih reaktor nuklir pembangkit listrik. PLTN termasuk dalam pembangkit daya base load, yang dapat bekerja dengan baik ketika daya keluarannya konstan (meskipun boiling water reactor dapat turun hingga setengah dayanya ketika malam hari). Daya yang dibangkitkan per unit pembangkit berkisar dari 40 MWe hingga 1000 MWe. Unit baru yang sedang dibangun pada tahun 2005 mempunyai daya 600-1200 MWe. 

Sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Reaktor nuklir di kungkung dalam containment building silindris. Hingga tahun 2005 terdapat 443 PLTN berlisensi di dunia, dengan 441 diantaranya beroperasi di 31 negara yang berbeda. Keseluruhan reaktor tersebut menyuplai 17% daya listrik dunia. 

Riwayat Sejarah Penemuan PLTN 

Reaktor nuklir yang pertama kali membangkitkan listrik adalah stasiun pembangkit percobaan EBR-I pada 20 Desember 1951 di dekat Arco, Idaho, Amerika Serikat. Pada 27 Juni 1954, PLTN pertama dunia yang menghasilkan listrik untuk jaringan listrik (power grid) mulai beroperasi di Obninsk, Uni Soviet. PLTN skala komersil pertama adalah Calder Hall di Inggris yang dibuka pada 17 Oktober 1956 

Jenis-jenis PLTN 

PLTN dikelompokkan berdasarkan jenis reaktor yang digunakan. Tetapi ada juga PLTN yang menerapkan unit-unit independen, dan hal ini bisa menggunakan jenis reaktor yang berbeda. Sebagai tambahan, beberapa jenis reaktor berikut ini, di masa depan diharapkan mempunyai sistem keamanan pasif. 

Reaktor Fisi 

Reaktor daya fisi membangkitkan panas melalui reaksi fisi nuklir dari isotop fissil uranium dan plutonium. 

Selanjutnya reaktor daya fissi dikelompokkan lagi menjadi: 
Reaktor thermal menggunakan moderator neutron untuk melambatkan atau me-moderate neutron sehingga mereka dapat menghasilkan reaksi fissi selanjutnya. Neutron yang dihasilkan dari reaksi fissi mempunyai energi yang tinggi atau dalam keadaan cepat, dan harus diturunkan energinya atau dilambatkan (dibuat thermal) oleh moderator sehingga dapat menjamin kelangsungan reaksi berantai. Hal ini berkaitan dengan jenis bahan bakar yang digunakan reaktor thermal yang lebih memilih neutron lambat ketimbang neutron cepat untuk melakukan reaksi fissi. 
Reaktor cepat menjaga kesinambungan reaksi berantai tanpa memerlukan moderator neutron. Karena reaktor cepat menggunkan jenis bahan bakar yang berbeda dengan reaktor thermal, neutron yang dihasilkan di reaktor cepat tidak perlu dilambatkan guna menjamin reaksi fissi tetap berlangsung. Boleh dikatakan, bahwa reaktor thermal menggunakan neutron thermal dan reaktor cepat menggunakan neutron cepat dalam proses reaksi fissi masing-masing. 
Reaktor subkritis menggunakan sumber neutron luar ketimbang menggunakan reaksi berantai untuk menghasilkan reaksi fissi. Hingga 2004 hal ini hanya berupa konsep teori saja, dan tidak ada purwarupa yang diusulkan atau dibangun untuk menghasilkan listrik, meskipun beberapa laboratorium mendemonstrasikan dan beberapa uji kelayakan sudah dilaksanakan. 

Reaktor thermal 
Light water reactor (LWR) 
Boiling water reactor (BWR) 
Pressurized water reactor (PWR) 
SSTAR, a sealed, reaktor untuk jaringan kecil, mirip PWR 

Moderator Grafit: 
Magnox 
Advanced gas-cooled reactor (AGR) 
High temperature gas cooled reactor (HTGR) 
RBMK 
Pebble bed reactor (PBMR) 
Moderator Air berat: 
SGHWR
CANDU 

Reaktor cepat 

Meski reaktor nuklir generasi awal berjenis reaktor cepat, tetapi perkembangan reaktor nuklir jenis ini kalah dibandingkan dengan reaktor thermal. Keuntungan reaktor cepat diantaranya adalah siklus bahan bakar nuklir yang dimilikinya dapat menggunakan semua uranium yang terdapat dalam urainum alam, dan juga dapat mentransmutasikan radioisotop yang tergantung di dalam limbahnya menjadi material luruh cepat. Dengan alasan ini, sebenarnya reaktor cepat secara inheren lebih menjamin kelangsungan ketersedian energi ketimbang reaktor thermal. Lihat juga reaktor fast breeder. Karena sebagian besar reaktor cepat digunakan untuk menghasilkan plutonium, maka reaktor jenis ini terkait erat dengan proliferasi nuklir. 

Lebih dari 20 purwarupa (prototype) reaktor cepat sudah dibangun di Amerika Serikat, Inggris, Uni Sovyet, Perancis, Jerman, Jepang, India, dan hingga 2004 1 unit reaktor sedang dibangun di China. 

Berikut beberapa reaktor cepat di dunia: 
EBR-I, 0.2 MWe, AS, 1951-1964. 
Dounreay Fast Reactor, 14 MWe, Inggris, 1958-1977. 
Enrico Fermi Nuclear Generating Station Unit 1, 94 MWe, AS, 1963-1972. 
EBR-II, 20 MWe, AS, 1963-1994. 
Phénix, 250 MWe, Perancis, 1973-sekarang. 
BN-350, 150 MWe plus desalination, USSR/Kazakhstan, 1973-2000. 
Prototype Fast Reactor, 250 MWe, Inggris, 1974-1994. 
BN-600, 600 MWe, USSR/Russia, 1980-sekarang. 
Superphénix, 1200 MWe, Perancis, 1985-1996. 
FBTR, 13.2 MWe, India, 1985-sekarang. 
Monju, 300 MWe, Jepang, 1994-sekarang. 
PFBR, 500 MWe, India, 1998-sekarang. 

(Daya listrik yang ditampilkan adalah daya listrik maksimum, tanggal yang ditampilkan adalah tanggal ketika reaktor mencapai kritis pertama kali, dan ketika reaktor kritis untuk teakhir kali bila reaktor tersebut sudah di dekomisi (decommissioned). 

Reaktor Fusi 

Fusi nuklir menawarkan kemungkinan pelepasan energi yang besar dengan hanya sedikit limbah radioaktif yang dihasilkan serta dengan tingkat keamanan yang lebih baik. Namun demikian, saat ini masih terdapat kendal-kendala bidang keilmuan, teknik dan ekonomi yang menghambat penggunaan energi fusi guna pembangkitan listrik. Hal ini masih menjadi bidang penelitian aktif dengan skala besar seperti dapat dilihat di JET, ITER, dan Z machine. 

Keuntungan dan kekurangan 

Keuntungan PLTN dibandingkan dengan pembangkit daya utama lainnya adalah: 
Tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca (selama operasi normal) – gas rumah kaca hanya dikeluarkan ketika Generator Diesel Darurat dinyalakan dan hanya sedikit menghasilkan gas) 
Tidak mencemari udara – tidak menghasilkan gas-gas berbahaya sepert karbon monoksida, sulfur dioksida, aerosol, mercury, nitrogen oksida, partikulate atau asap fotokimia 
Sedikit menghasilkan limbah padat (selama operasi normal) 
Biaya bahan bakar rendah – hanya sedikit bahan bakar yang diperlukan 
Ketersedian bahan bakar yang melimpah – sekali lagi, karena sangat sedikit bahan bakar yang diperlukan 
Baterai nuklir – (lihat SSTAR) 
Berikut ini berberapa hal yang menjadi kekurangan PLTN: 
Risiko kecelakaan nuklir – kecelakaan nuklir terbesar adalah kecelakaan Chernobyl (yang tidak mempunyai containment building) 
Limbah nuklir – limbah radioaktif tingkat tinggi yang dihasilkan dapat bertahan hingga ribuan tahun 

PLTN 

PLTN harus segara direalisasikan pada 2025An berdasarkan kajian kebutuhan energi bagi masyarakat. Jika melihat komposisi energi untuk 20-25 tahun mendatang maka harus diantisipasi menghadapi kebutuhan energi. 

Sangat mendesak dilakukan pemberdayaan sumber-sumber energi nuklir. Itu pun mulai bisa dirasakan hasilnya baru 2015. Jika rencana PLTN berjalan maka pada 2025 baru menyumbang 5 persen dari 100 gigawatt. Bahkan, dunia telah menggunakan sumber listrik nuklir 20 persen. Gas malahan hanya 15-16 persen. 

Untuk menjawab kekhawatiran masyarakat dapat dilakukan dengan pemilihan teknologi yang tingkat keselamatannya tinggi. Tipe reaktor yang rencananya digunakan adalah PWR yang telah diterapkan di Amerika Serikat, Jepang, Korea, serta China. Sebenarnya ada tipe lain, yaitu BWR (boiling water reactor) dan PHWR (pressurize heavy water reactor). Fakta nyata menunjukkan pengoperasian sejak tahun 1950, di beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Korea, serta Eropa tingkat keamanan sangat tinggi dan tidak ada kecelakaan fatal. 

Dari sisi limbah, rencana pembangunan reaktor nuklir telah menjadi alasan penolakan kalangan yang tidak setuju. Kajian ilmiah telah banuyak dilakukan oleh para ahli untuk mengamati penerapan dari sejak dioperasikan di reaktor sampai pengelolaan. Saat ini terdapat teknologi yang meningkatkan pembakaran, sehingga dengan tingkat pembakaran lebih besar hasil limbah nuklirnya kecil. 

Dengan asumsi 1.000 megawatt dari reaktor yang dioperasikan selama 40 tahun, limbahnya itu hanya sebesar lapangan tenis. Penampungan limbah itu bentuknya seperti kolam berupa dried cell atau sel-sel penyimpanan kering. Selama 40 tahun tak perlu mengolah limbah. Bahkan Amerika telah menggunakan penyimpanan limbah lestari. Limbah itu disimpan di bawah lorong sedalam 500 m, yang dapat menyimpan limbah 100-200 tahun.

Sumber :  wikipedia dan berbagai sumber lainnya

Dampak Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Angin

Keuntungan utama dari penggunaan pembangkit listrik tenaga angin secara prinsipnya adalah disebabkan karena sifatnya yang terbarukan. Hal ini berarti eksploitasi sumber energi ini tidak akan membuat sumber daya angin yang berkurang seperti halnya penggunaan bahan bakar fosil. Oleh karenanya tenaga angin dapat berkontribusi dalam ketahanan energi dunia di masa depan. Tenaga angin juga merupakan sumber energi yang ramah lingkungan, dimana penggunaannya tidak mengakibatkan emisi gas buang atau polusi yang berarti ke lingkungan. 

Penetapan sumber daya angin dan persetujuan untuk pengadaan ladang angin merupakan proses yang paling lama untuk pengembangan proyek energi angin. Hal ini dapat memakan waktu hingga 4 tahun dalam kasus ladang angin yang besar yang membutuhkan studi dampak lingkungan yang luas.



Emisi karbon ke lingkungan dalam sumber listrik tenaga angin diperoleh dari proses manufaktur komponen serta proses pengerjaannya di tempat yang akan didirikan pembangkit listrik tenaga angin. Namun dalam operasinya membangkitkan listrik, secara praktis pembangkit listrik tenaga angin ini tidak menghasilkan emisi yang berarti. Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik dengan batubara, emisi karbon dioksida pembangkit listrik tenaga angin ini hanya seperseratusnya saja. Disamping karbon dioksida, pembangkit listrik tenaga angin menghasilkan sulfur dioksida, nitrogen oksida, polutan atmosfir yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pembangkit listrik dengan menggunakan batubara ataupun gas. Namun begitu, pembangkit listrik tenaga angin ini tidak sepenuhnya ramah lingkungan, terdapat beberapa masalah yang terjadi akibat penggunaan sumber energi angin sebagai pembangkit listrik, diantaranya adalah dampak visual , derau suara, beberapa masalah ekologi, dan keindahan. 

Dampak visual biasanya merupakan hal yang paling serius dikritik. Penggunaan ladang angin sebagai pembangkit listrik membutuhkan luas lahan yang tidak sedikit dan tidak mungkin untuk disembunyikan. Penempatan ladang angin pada lahan yang masih dapat digunakan untuk keperluan yang lain dapat menjadi persoalan tersendiri bagi penduduk setempat. Selain mengganggu pandangan akibat pemasangan barisan pembangkit angin, penggunaan lahan untuk pembangkit angin dapat mengurangi lahan pertanian serta pemukiman. Hal ini yang membuat pembangkitan tenaga angin di daratan menjadi terbatas. Beberapa aturan mengenai tinggi bangunan juga telah membuat pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dapat terhambat. Penggunaan tiang yang tinggi untuk turbin angin juga dapat menyebabkan terganggunya cahaya matahari yang masuk ke rumah-rumah penduduk. Perputaran sudu-sudu menyebabkan cahaya matahari yang berkelap-kelip dan dapat mengganggu pandangan penduduk setempat.

Efek lain akibat penggunaan turbin angin adalah terjadinya derau frekuensi rendah. Putaran dari sudu-sudu turbin angin dengan frekuensi konstan lebih mengganggu daripada suara angin pada ranting pohon. Selain derau dari sudu-sudu turbin, penggunaan gearbox serta generator dapat menyebabkan derau suara mekanis dan juga derau suara listrik. Derau mekanik yang terjadi disebabkan oleh operasi mekanis elemen-elemen yang berada dalam nacelle atau rumah pembangkit listrik tenaga angin. Dalam keadaan tertentu turbin angin dapat juga menyebabkan interferensi elektromagnetik, mengganggu penerimaan sinyal televisi atau transmisi gelombang mikro untuk perkomunikasian. 

Penentuan ketinggian dari turbin angin dilakukan dengan menganalisa data turbulensi angin dan kekuatan angin. Derau aerodinamis merupakan fungsi dari banyak faktor seperti desain sudu, kecepatan perputaran, kecepatan angin, turbulensi aliran masuk. Derau aerodinamis merupakan masalah lingkungan, oleh karena itu kecepatan perputaran rotor perlu dibatasi di bawah 70m/s. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa penggunaan skala besar dari pembangkit listrik tenaga angin dapat merubah iklim lokal maupun global karena menggunakan energi kinetik angin dan mengubah turbulensi udara pada daerah atmosfir.



Pengaruh ekologi yang terjadi dari penggunaan pembangkit tenaga angin adalah terhadap populasi burung dan kelelawar. Burung dan kelelawar dapat terluka atau bahkan mati akibat terbang melewati sudu-sudu yang sedang berputar. Namun dampak ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kematian burung-burung akibat kendaraan, saluran transmisi listrik dan aktivitas manusia lainnya yang melibatkan pembakaran bahan bakar fosil. Dalam beberapa studi yang telah dilakukan, adanya pembangkit listrik tenaga angin ini dapat mengganggu migrasi populasi burung dan kelelawar. Pembangunan pembangkit angin pada lahan yang bertanah kurang bagus juga dapat menyebabkan rusaknya lahan di daerah tersebut. 

Ladang angin lepas pantai memiliki masalah tersendiri yang dapat mengganggu pelaut dan kapal-kapal yang berlayar. Konstruksi tiang pembangkit listrik tenaga angin dapat mengganggu permukaan dasar laut. Hal lain yang terjadi dengan konstruksi di lepas pantai adalah terganggunya kehidupan bawah laut. Efek negatifnya dapat terjadi seperti di Irlandia, dimana terjadinya polusi yang bertanggung jawab atas berkurangnya stok ikan di daerah pemasangan turbin angin. Studi baru-baru ini menemukan bahwa ladang pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai menambah 80 – 110 dB kepada noise frekuensi rendah yang dapat mengganggu komunikasi ikan paus dan kemungkinan distribusi predator laut. Namun begitu, ladang angin lepas pantai diharapkan dapat menjadi tempat pertumbuhan bibit-bibit ikan yang baru. Karena memancing dan berlayar di daerah sekitar ladang angin dilarang, maka spesies ikan dapat terjaga akibat adanya pemancingan berlebih di laut. 

Dalam operasinya, pembangkit listrik tenaga angin bukan tanpa kegagalan dan kecelakaan. Kegagalan operasi sudu-sudu dan juga jatuhnya es akibat perputaran telah menyebabkan beberapa kecalakaan dan kematian. Kematian juga terjadi kepada beberapa penerjun dan pesawat terbang kecil yang melewati turbin angin. Reruntuhan puing-puing berat yang dapat terjadi merupakan bahaya yang perlu diwaspadai, terutama di daerah padat penduduk dan jalan raya. Kebakaran pada turbin angin dapat terjadi dan akan sangat sulit untuk dipadamkan akibat tingginya posisi api sehingga dibiarkan begitu saja hingga terbakar habis. Hal ini dapat menyebarkan asap beracun dan juga dapat menyebabkan kebakaran berantai yang membakar habis ratusan acre lahan pertanian. Hal ini pernah terjadi pada Taman Nasional Australia dimana 800 km2 tanah terbakar. Kebocoran minyak pelumas juga dapat teradi dan dapat menyebabkan terjadinya polusi daerah setempat, dalam beberapa kasus dapat mengkontaminasi air minum. 

Meskipun dampak-dampak lingkungan ini menjadi ancaman dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga angin, namun jika dibandingkan dengan penggunaan energi fosil, dampaknya masih jauh lebih kecil. Selain itu penggunaan energi angin dalam kelistrikan telah turut serta dalam mengurangi emisi gas buang. 

Penggunaan inovasi dalam teknologi, bagaimanapun selalu memunculkan permasalahan baru yang memerlukan pemecahan dengan terknologi baru lagi. Oleh karena itu kita sebagai orang-orang yang bergerak di bidang science dan teknologi haruslah dapat terus mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan yang memiliki efek negatif sekecil mungkin.

Sumber : 

Breeze, Paul., Power Generation Technologies, Newnes, Great Britain, 2005.

PEMANASAN GLOBAL (GLOBAL WARMING)

Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Penyebab Pemanasan Global 

Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, peternakan, serta pembangkit tenaga listrik. 

Apa itu Gas Rumah Kaca? 

Atmosfer bumi terdiri dari bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup. Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -32o Celcius. 

Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.





Apa Penyebab Utama Pemanasan Global? 

Dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options (Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri peternakan meliputi 9 % karbon dioksida, 37% gas metana (efek pemanasannya 72 kali lebih kuat dari CO2), 65 % nitro oksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2), serta 64% amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh permukaan tanah kering di Bumi dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak. Peternakan juga penyebab dari 80% penggundulan Hutan Amazon. 

Sedangkan laporan yang baru saja dirilis World Watch Institut menyatakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen dari pemanasan global. 

Penulisnya, Dr. Robert Goodland, mantan penasihat utama bidang lingkungan untuk Bank Dunia, dan staf riset Bank Dunia Jeff Anhang, membuatnya berdasarkan “Bayangan Panjang Peternakan”, laporan yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Mereka menghitung bidang yang sebelumnya dan memperbarui hal lainnya, termasuk siklus hidup emisi produksi ikan yang diternakkan, CO2 dari pernapasan hewan, dan koreksi perhitungan sebenarnya yang menghasilkan lebih dari dua kali lipat jumlah hewan ternak yang dilaporkan di planet ini. 

Emisi metana dari hewan ternak juga berperan sebesar 72 kali lebih dalam menyerap panas di atmosfer daripada CO2. Hal ini mewakili kenaikan yang lebih akurat dari perhitungan asli FAO dengan potensi pemanasan sebesar 23 kali. Meskipun demikian, para peneliti itu memberitahu bahwa perkiraan mereka adalah minimal, dan karena itu total emisi 51 persen masih konservatif.

Ideologi,Gagasan,Tindakan,Artefak: Proses Berarsitektur dalam Telaah Antropologis

Gejala dan Wujud Kebudayaan 

Menurut J.J. Honingmann terdapat tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts (dalam Koentjaraningrat, 2005 hal 74). 

Koentjaraningrat sendiri menawarkan empat wujud kebudayaan, yaitu: kebudayaan sebagai nilai ideologis; kebudayaan sebagai sistem gagasan; kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; dan kebudayaan sebagai benda fisik (artifak) (Koentjaraningrat, 2005).


Dari empat wujud yang ditawarkan dalam lingkaran kerangka kebudayaan di atas, masing-masing memiliki kecenderungan bentuk yang berbeda satu dengan lainnya. 

1. Nilai-nilai budaya merupakan tahap filosofis atau ideologis yang terbentuk karena pengalaman manusia, tahap ini merupakan hasil pemikiran yang biasanya memiliki bentuk tekstual tersurat maupun tersirat dalam norma, aturan adat, cerita rakyat atau karya seni. 

2. Sistem budaya berupa gagasan dan konsep juga merupakan manifestasi hasil pemikiran. Tahap wujud ini juga memiliki bentuk tertulis tersurat dan beberapa dapat berbentuk gambar atau konfigurasi. 

3. Sistem sosial sebagai tahap wujud selanjutnya merupakan tindakan dalam rangka “mewujudkan” konsep. Tahap wujud ini dapat berbentuk tulisan, gambar, konfigurasi maupun kegiatan. 

4. Kebudayaan fisik merupakan wujud hasil dalam sebuah kebudayaan. Sehingga pada wujud terakhir ini kebudayaan memiliki bentuk paling nyata diantara bentuk yang lain. Pada wujud inilah kebudayaan seringkali sudah memiliki bentuk benda, sehingga dapat dilihat, disentuh dan dirasakan. 

Untuk membantu memahami Arsitektur sebagai sebuah wujud kebudayaan dapat dilakukan telaah melalui kacamata di atas. Untuk itu kegiatan ber-arsitektur perlu dipahami sebagai sebuah proses, dari ideologi yang melandasi, konsep, metode dan teknik yang digunakan, hingga hasil karya. 
Ideologi dan Nilai Budaya 

Arsitektur sebagai sebuah ilmu terapan merupakan muara bertemunya berbagai ilmu danseringkali juga menjadi muara manifestasi berbagai nilai budaya yang ada di masyarakat. Nilai budaya ini seringkali muncul sebagai landasan ideologis karya-karya arsitektur. 

Munculnya “isme” pada tataran ideologi lebih tepat disebut sebagai “era dalam arsitektur” bukan “gaya dalam arsitektur”. Munculnya era arsitektur klasik, modern dan post-modern menandakan adanya evolusi perbedaan rumusan mengenai keindahan secara ideologis. 
Gagasan dalam Konsep Karya 

Unsur yang akan selalu ada dalam proses penciptaan “karya arsitektur” adalah “keindahan”. Keindahan selalu menjadi latar belakang atau tuntutandalam sebuah “karya arsitektur”. Keindahan merupakan gagasan mengenai bentuk estetika yang pada akhirnya akan diwujudkan menjadi sebuah karya fisik melalui teknik dan metode dalam arsitektur. Dalam hal ini bentuk estetika merupakan sebuah gagasan yang muncul dalam sebuah kebudayaan. Estetika merupakan wujud kedua dari kebudayaan atau merupakan wujud gagasan. 
Tindakan dalam Proses Menuju Karya 

Dalam proses ber-arsitektur terdapat tahapan hingga terciptanya sebuah “karya arsitektur”. Proses hingga terwujudnya “karya arsitektur” ini memerlukan teknik dan metode yang dikuasai oleh para pelaku arsitek. Teknik-teknik atau metode-metode yang digunakan untuk mencapai tahap realisasi fisik ini dapat difahami sebagai sebuah sistem perilaku atau tindakan tertentu. Aktifitas dalam bentuk teknik-teknik tertentu yang sudah terbentuk menjadi struktur sistem baku dalam dunia arsitektur merupakan wujud ketiga arsitektur sebagai sebuah kebudayaan atau merupakan wujud tindakan. 
Artefak dalam Karya Arsitektur 

“Karya arsitektur” sebagai produk arsitektur merupakan wujud fisik yang secara nyata dapat dilihat, disentuh dan dirasakan kehadirannya dalam masyarakat. Wujud fisik ini, baik dalam skala bangunan tunggal maupun sebuah lingkungan buatan, dapat difahami sebagai sebuah artefak. Sebuah “karya arsitektur” mengkomunikasikan kondisi masyarakat di mana artefak tersebut berada. Artefak merupakan wujud akhir yang timbul akibat adanya gagasan dan tindakan dalam suatu kebudayaan, wujud fisik. Kebudayaan dalam Wujud fisik merupakan bagian terluar dari lingkaran konsentris kerangka kebudayaan (Koentjaraningrat, 2005). 
Perkembangan Arsitektur dalam Sistem Nilai Kebudayaan 

Apabila dilihat dari proses yang terjadi, maka tahap gagasan merupakan awal terjadinya proses ber-arsitektur tersebut. 

Proses diawali oleh gagasan melalui tindakan hingga akhirnya terbentuk hasil karya fisik. Sehingga sedikit perubahan yang terjadi pada tahap gagasan berarti akan terjadi perubahan pula pada karya akhirnya. Namun demikian, keberadaan konsep estetika sebagai wujud gagasan yang abstrak selalu dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing individunya maupun pengalaman kolektif yang dialami kelompok masyarakat tertentu. 

Pengalaman ini meliputi: pengembangan kepercayaan terhadap kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi; hubungan sosial dengan orang atau kelompok lain; ekspresi kepribadian individual kepada lingkungan masyarakat di sekitarnya; mengupas makna-makna yang dapat diterima oleh lingkungan (Mulder, 1975, dalam Koentjaraningrat, 2005). Manifestasi dari pengalaman ini adalah “rumusan ideologi estetika masyarakat”.


Pengalaman yang berbeda-beda antar individu akan menghasilkan perbedaan dalam rumusan bentuk estetika masing-masing. Dalam sebuah kelompok masyarakat, perbedaan rumusan bentuk estetika tercermin dalam sistem nilai kebudayaannya. 

Hal ini yang akan menentukan munculnya berbagai gaya dalam arsitektur. Perbedaan gaya dalam karya arsitektur yang terjadi antar daerah dan waktu disebabkan karena adanya perbedaan rumusan bentuk estetika masing-masing. Perbedaan dalam rumusan bentuk estetika, sekaligus akan menggambarkan kondisi pengalaman yang diterima oleh masyarakat. 

Oleh karena itu, “karya arsitektur” dalam sebuah masyarakat dapat menjadi alat untuk membaca kondisi pengalaman dan sistem nilai kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, gagasan mengenai setting perilaku dalam masyarakat merupakan hasil dialog dari perilaku sebagai tindakan dan desain sebagai artifak kebudayaan. Sebagai contoh gambaran hubungan antara kebudayaan dengan arsitektur adalah perkembangan gaya dalam dunia arsitektur itu sendiri. 
Contoh Kasus: Revolusi Gaya Arsitektur dalam Evolusi Kebudayaan 

Secara singkat di bawah ini akan dicontohkan terjadinya perkembangan berbagai gaya dalam dunia Arsitektur dalam kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang melingkupinya. 

Arsitektur pra-Yunani kuno sangat terkait dengan kondisi bangsa Yunani yang kaya dengan mitologi dan seni. Hal ini nampak dari fungsi dan bentuk bangunan utama sebagai bagian dari ritual pemujaan. Ideologi kebudayaan masyarakat pra-Yunani kuno tersebut menjadi dasar terbentuknya konsep nilai ke-estetika-an pada saat itu terfokus pada terciptanya bangunan-bangunan megah dan besar sebagai upaya mendekatkan manusia terhadap mitos dewa-dewi alam semesta. 

Pada perkembangannya Arsitektur Yunani kuno mulai meninggalkan tahapan mitologi dan menuju tahap filsafat ilmu. Pada masa ini ilmu ukur menjadi penting dalam menentukan bentuk dan proporsi bangunan. Rumus matematis berperan penting dalam menentukan nilai estetika sebuah bangunan. Keindahan pada era ini tersirat dalam penggunaan proporsi golden section dan pemanfaatan efek distorsi mata untuk menciptakan kemegahan dan keindahan bangunan-bangunan utamanya. 

Abad pertengahan ditandai oleh menguatnya pengaruh agama dalam masyarakat. Arsitektur gothic berkembang sebagai simbol cahaya dan pencerahan terhadap manusia. Wahyu Tuhan melalui ajaran gereja merupakan landasan ideologis mutlak. Manusia dan kehidupan duniawi cenderung terbelenggu sehingga semua ilmu diarahkan untuk kepentingan pengembangan gereja. 

Filsafat berkembang seputar manusia sebagai makhluk penuh dosa yang dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan. Satu-satunya yang dapat menolong manusia dari kegelapan adalah cahaya Tuhan melalui ajaran gereja yang direpresentasikan oleh adanya keindahan permainan cahaya dalam bangunan-bangunan bergaya gothic. 

Era Renaissance merupakan masa peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern. Arsitektur Renaissance menggambarkan perjuangan lepas dari doktrin gereja. Ornamen-ornamen organis muncul sebagai bagian dari keindahan bangunan. 

Cahaya masih menjadi bagian dari keindahan bangunan, namun unsur-unsur duniawi juga muncul dalam bentuk detail-detail yang indah. Detail yang bersifat duniawi pada era pertengahan sangat dibatasi. Kemunculan detail ini dilandasi oleh ideologi untuk melepaskan diri dari doktrin gereja. 

Secara umum zaman modern sendiri merupakan masa di mana seluruh cabang ilmu berkembang dengan sangat pesat. Penemuan mesin, revolusi Industri dan penemuan material baru menimbulkan berbagai perubahan dalam masyarakat secara cepat. 

Sehingga perkembangan ilmu-ilmu tersebut juga memunculkan berbagai gaya dan aliran dalam dunia arsitektur sendiri. Minimalisme, fungsionalisme, industrialisme, konstruktifisme dan rasionalisme merupakan gambaran adanya berbagai gaya arsitektur yang muncul pada zaman modern ini. Meski terdapat berbagai macam gaya arsitektur, kondisi kebudayaan masyarakatnya yang terbentuk tetap dalam koridor ideologi yang cenderung humanis, monoton dan rasionalis akibat perkembangan ilmu itu sendiri. 

Zaman post-modern secara garis besar berusaha lepas dari batasan-batasan ketat yang ada pada zaman modern. Dekonstruksi, simbiosisme, eklektisisme, feminisme dan hibridisme memberi gagasan pada kebebasan dan kemajemukan. 

Meski diwarnai oleh berbagai nama gaya atau aliran, ternyata semua tetap merujuk pada pembebasan manusia yang pada era modern terbelenggu ketat oleh struktur-struktur konsensus dan makna tunggal. Pada era post-modern ini filsafat strukturalisme hingga post-strukturalisme menjadi landasan ideologis nilai-nilai budaya masyarakatnya. 

Arsitektur Barat dan Timur berkembang berbeda karena pengalaman dan perkembangan filsafat ilmu, filsafat agama dan filsafat alam masing-masing wilayah ini memang berbeda. 

Dalam kasus era modern dan post-modern meski ditemukan berbagai macam gaya arsitektur yang muncul, namun memiliki landasan ideologis yang sama. Sehingga kemunculan berbagai gaya ini dalam telaah antropologi budaya hanya merupakan perubahan pada dua wujud lingkaran terluar pada kerangka kebudayaan Koentjaraningrat, sehingga tidak menyentuh perubahan pada taraf ideologi dan konsepnya.


Daftar Pustaka 

Koentjaraningrat (2005). Pengantar Antropologi I. Rineka Cipta. 

Melvin, Jeremy. …isms: Understanding Architectural Styles. Universe. 

Surajiyo (2007). Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 

——————————————– 
sourch: http://www.arsitektur.net

CANDI DIENG, WONOSOBO - JATENG

Secara administratif dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) dengan ketinggian kurang lebih 2088 m DPL dengan suhu rata-rata 13-17 C, berada di lokasi wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit. Sebelum menjadi dataran, area ini merupakan danau besar yang kini tinggal bekas-bekasnya berupa telaga. Bekas-bekas kawah pada saat ini, kadang-kadang masih menampakan aktivitas vulkanik, misalnya pada kawah Sikidang. Disamping itu juga aktivitas vulkanik, yang berupa gas / uap panas bumi dan dialirkan melalui pipa dengan diameter yang cukup besar, dan dipasang di permukaan tanah untuk menuju ke lokasi tertentu yang berada cukup jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan dimanfaatkan untuk Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi. Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah dan situs-situs peninggalan purbakala yang berupa candi, sehingga dataran tinggi Dieng mempunyai potensi sebagai tempat rekreasi dan sekaligus obyek peninggalan sejarah yang menarik. 




Dataran tinggi Dieng dianggap merupakan suatu tempat yang memiliki kekuatan misterius sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur, sehingga tempat ini dianggap suci. Dieng berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Terdapat beberapa komplek candi di daerah ini, komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu. Candi-candi yang berada di dataran tinggi Dieng diberi nama yang berkaitan dengan cerita atau tokoh-tokoh wayang Purwa dalam lokan Mahabarata, misalnya candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Dwarawati, candi Bima, candi Semar, candi Sembadra, candi Srikandi dan candi Puntadewa. Nama candi tersebut tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan nama candi tersebut diberikan setelah bangunan candi tersebut ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Tokoh siapa yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, dikarenakan informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak ada satupun yang menyebutkan siapa tokoh yang membangun.



Dari prasasti batu yang ditemukan, menyebutkan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi, dari informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat suci Agama Hindu digunakan kurang lebih 4 abad. Dari sisi arsitektur candi-candi di komplek agak berbeda dibandingkan dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama candi Bima. Bentuk bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat adanya hiasan Kudu yaitu hiasan kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela.

TUGAS KONSERVASI ARSITEKTUR (3)

BANGUNAN CAGAR BUDAYA



Definisi benda cagar budaya menurut Undang-undang tentang Cagar Budaya ada dua, yaitu:

  1. Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. 
  2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan

Kriteria, Tolok Ukur, dan Penggolongan benda cagar budaya

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah:


  • Tolok ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  • Tolok ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
  • Tolok ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
  • Tolok ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
  • Tolok ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:

  • Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
  • Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
  • Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
Bangunan cagar budaya sendiri dibagi dalam 3 golongan, yaitu:


  1. Bangunan cagar budaya Golongan A: bangunan yang memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian
  2. Bangunan cagar budaya Golongan B: bangunan yang memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark, arsitektur, dan umur.
  3. Bangunan cagar budaya Golongan C: bangunan yang memenuhi kriteria umur dan arsitektur



Analisis Penilaian Bangunan Cagar Budaya

Analisis Bangunan Cagar Budaya, bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik tiap bangunan penting pada kawasan perencanaan. Analisis tersebut berupa penilaian dan pembobotan terhadap tiap bangunan di kawasan rencana berdasarkan kriteria bangunan sebagai Bangunan Cagar Budaya. Analisis ini berguna untuk menerapkan rekomendasi-rekomendasi yang menjadi dasar Revitalisasi di kawasan perencanaan, utamanya terkait dengan penanganan pada tiap bangunan.


KRITERIA PENILAIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Untuk Mempermudah penerapan program revitalisasi, diperlukan kriteria penilaian terhadap bangunan dan kawasan yang hendak dilestarikan. Kriteria penilaian tersebut meliputi:

A. Kriteria-kriteria fisik-visual, meliputi nilai-nilai:


1. Estetika, berkaitan dengan nilai keindahan arsitektural, khususnya dalam hal penampakan luar bangunan, yaitu:
  1. Bentuk, urutan nilai:
  2. Sama sekali tidak sesuai dengan fungsinya
  3. Tidak sesuai dengan fungsinya
  4. cukup sesuai dengan fungsinya
  5. Sesuai dengan fungsinya
  6. Amat sesuai sekali dengan fungsinya (sbg landmark fungsi)

Struktur, urutan nilai:

  1. Sama sekali tidak ditonjolkan sbg nilai estetis
  2. Tidak ditonjolkan sbg nilai estetis
  3. Cukup ditonjolkan sbg nilai estetis
  4. Ditonjolkan sbg nilai estetis
  5. Amat sangat ditonjolkan sbg nilai estetis (sebagai Landmark fungsi)

Ornamen,urutan nilai :

  1. Sama sekali tidak mendukung gaya arsitektur
  2. Tidak sesuai mendukung gaya arsitektur
  3. cukup sesuai gaya arsitektur
  4. Sesuai dengan gaya arsitektur

Amat sesuai sekali gaya arsitektur (sbg karakter khas gaya arsitektur)

2. Keluarbiasaan, berkaitan dengan nilai keistimewaan, keunikan dan kelangkaan bangunan, yaitu:

Sebagai landmark lingkungan, urutan nilai:
  1. Sama sekali tidak sesuai sebagai landmark lingkungan
  2. Tidak sesuai sebagai landmark lingkungan
  3. cukup sesuai sebagai landmark lingkungan
  4. Sesuai sebagai landmark lingkungan
  5. Amat sesuai sekali sebagai landmark lingkungan
Sebagai landmark kawasan, urutan nilai:
  1. Sama sekali tidak sesuai sebagai landmark kawasan
  2. Tidak sesuai sebagai landmark kawasan
  3. cukup sesuai sebagai landmark kawasan
  4. Sesuai sebagai landmark kawasan
  5. Amat sesuai sekali sebagai landmark kawasan
Sebagai landmark kota, urutan nilai:
Sama sekali tidak sesuai sebagai landmark kota
  1. Tidak sesuai sebagai landmark kota
  2. cukup sesuai sebagai landmark kota
  3. Sesuai sebagai landmark kota
  4. Amat sesuai sekali sebagai landmark kota
Kelangkaan bangunan, urutan nilai:
  1. gaya arsitekturnya,umum, di kota Surabaya dan sekitarnya
  2. gaya arsitekturnya,umum, utamanya di kota Surabaya
  3. gaya arsitekturnya dominan, pada beberapa kawasan, yang ada di kota Surabaya
  4. gaya arsitekturnya dominan, hanya pada satu kawasan, yang ada di kota Surabaya
  5. Satu-satunya gaya arsitektur yang ada di kota Surabaya
Umur bangunan, urutan nilai:
  1. 21-30 th
  2. 31-40 th
  3. 41-50 th
  4. 51-60 th
  5. lebih dari 60 th
Skala Monumental, urutan nilai:

i. Bangunan, urutan nilai:

1) Skala manusia

2) Tidak monumental (d/h<1)

3) Kurang monumental (2>d/h>1)

4) Monumental (d/h =2 dilihat dari luar pagar)

5) Sangat monumental (d/h=2 dilihat dari dalam pagar)

ii. Ruang luar, urutan nilai:

1) Skala manusia

2) Tidak monumental (d/h<1)

3) Kurang monumental (2>d/h>1)

4) Monumental (d/h =2 dilihat dari luar pagar)

5) Sangat monumental (d/h=2 dilihat dari dalam pagar)
Perletakan yang menonjol, urutan nilai:

1) Bangunan tertutup oleh bangunan lain

2) Sama dengan bangunan sekitarnya

3) Lebih maju/mundur dari bangunan sekitarnya

4) Terletak di ujung jalan

5) Terletak di pertigaan/perempatan jalan

3. Memperkuat citra kawasan, berkaitan dengan pengaruh kehadiran suatu obyek terhadap kawasan sekitarnya yang sangat bermakna untuk meningkatkan atau memperkuat kualitas dan citra lingkungan:
Sesuai dengan fungsi kawasan, urutan nilai:

1) Tidak sesuai dengan fungsi kawasan

2) Cukup sesuai dengan fungsi kawasan

3) Sesuai dengan fungsi penunjang kawasan

4) Sesuai dengan fungsi sekunder kawasan

5) Sesuai dengan fungsi primer kawasan
Kesatuan/kontinuitas, urutan nilai:

1) Tidak menciptakan kontinuitas pada kawasan

2) Kurang menciptakan kontinuitas pada kawasan

3) Cukup menciptakan kontinuitas pada kawasan

4) Menciptakan kontinuitas arsitektural pada kawasan

5) Menciptakan kontinuitas arsitektural pada kawasan shg menjadi landmark kawasan
Kekontrasan bangunan, urutan nilai:

1) Tidak menciptakan laras arsitektural pada kawasan

2) Kurang menciptakan laras arsitektural pada kawasan

3) Cukup menciptakan laras arsitektural pada kawasan

4) Menciptakan laras arsitektural pada kawasan

5) Menciptakan laras arsitektural pada kawasan shg menjadi landmark

4. Keaslian bentuk, berkaitan dengan tingkat perubahan bentuk fisik, baik melalui penambahan atau pengurangan:
Jumlah ruang, urutan nilai:

1) Ada perubahan rg utama /rg.penunjang

2) Ada perubahan rg.penunjang

3) Tidak ada perubahan rg. utama
Element struktur, urutan nilai:

1) Ada perubahan struktur rg. Utama/rg.penunjang

2) Ada perubahan struktur rg.penunjang

3) Tidak ada perubahan struktur rg.utama
Konstruksi, urutan nilai:

1) Ada perubahan konstruksi rg.utama/rg.penunjang

2) Ada perubahan konstruksi rg. Penunjang

3) Tidak ada perubahan konstruksi rg. Utama
Detail/Ornamen, urutan nilai:

1) Ada perubahan pada detail /ornamen

2) Ada perubahan pada detil/ornamen tetapi tidak merubah karakter khasnya

3) Tidak ada perubahan pada detil/ornamen dan merubah karakter khasnya.

5. Keterawatan, berkaitan dengan kondisi fisik bangunan:
Tingkat kerusakan, urutan nilai:

1) Lebih dari sekitar 50%

2) Sekitar 50%

3) Sekitar 0- 49%
Prosentasi sisa bangunan, urutan nilai:

1) Sekitar 0- 49%

2) Sekitar 50%

3) Lebih dari sekitar 50%
Kebersihan, urutan nilai:

1) Kurang bersih

2) Cukup bersih

3) Bersih terawat



B. Kriteria-kriteria non fisik, meliputi nilai-nilai:



1. Peran sejarah, berkaitan dengan nilai sejarah yang dimiliki, peristiwa penting yang mencatat peran ikatan simbolis suatu rangkaian sejarah dan babak perkembangan suatu lokasi, sehingga merujuk pada:
Sejarah Perkembangan Arsitektur, urutan nilai:

1) Tidak berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Arsitektur

2) Cukup berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Arsitektur

3) Berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Arsitektur

4) Amat berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Arsitektur

5) Penentu Sejarah Perkembangan Arsitektur
Sejarah Perkembangan Kota, urutan nilai:

1) Tidak berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Kota

2) Cukup berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Kota

3) Berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Kota

4) Amat berpengaruh dalam Sejarah Perkembangan Kota

5) Penentu Sejarah Perkembangan Kota
Sejarah Perjuangan Bangsa, urutan nilai:

1) Tidak berpengaruh dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

2) Cukup berpengaruh dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

3) Berpengaruh dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

4) Amat berpengaruh dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

5) Penentu Sejarah Perjuangan Bangsa

2. Komersial:
Nilai ekonomi yang berpotensi untuk dikembangkan:

i. Formal, urutan nilai:

1) Tidak bernilai ekonomi

2) Bernilai ekonomi kurang tinggi

3) Bernilai ekonomi cukup tinggi

4) Bernilai ekonomi tinggi

5) Bernilai ekonomi sangat tinggi

ii. Informal, urutan nilai:

1) Tidak bernilai ekonomi

2) Bernilai ekonomi kurang tinggi

3) Bernilai ekonomi cukup tinggi

4) Bernilai ekonomi tinggi

5) Bernilai ekonomi sangat tinggi

3. Sosial-budaya, berkaitan dengan nilai-nilai social-budaya khas kawasan yang masih terwujud dan terwadahi :
Legenda (budaya oral) , urutan nilai:

1) Tidak Ada

2) Ada tapi tidak popular

3) Ada dan Popular
Aktivitas social-budaya, urutan nilai:

1) Tidak Ada

2) Ada tapi tidak popular

3) Ada dan popular





KRITERIA PEMBOBOTAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Revitalisasi, adalah suatu upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup/vital, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Revitalisasi sendiri, bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik semata, tetapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Karenanya, maka tujuan utama dari revitalisasi adalah memberikan kontribusi positif pada kehidupan social-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.

Berdasarkan hal tersebut diatas,maka ditentukan pembobotan bagi seluruh criteria revitalisasi yang ada. Dengan tujuan utama memberikan kontribusi positif pada kehidupan social-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota, maka pembobotan untuk criteria non fisik, akan lebih besar dari pada criteria fisik yang ada. Adapun, secara keseluruhan, maka pembobotannya adalah sbb:

A. Kriteria-kriteria non fisik à bobot 2

B. Kriteria-kriteria fisik-visual à bobot 1

KRITERIA PENANGANAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA

Berdasarkan penilaian dan pembobotan yang telah dilakukan, maka pada akhirnya akan didapatkan penggolongan bangunan yang akan menjadi dasar penanganan bangunan cagar budaya,yaitu:

1. Golongan A

Skor : 121 – 175

Bangunan dipertahankan 100 persen seperti apa adanya atau jika harus dipugar dikembalikan ke bentuk aslinya dengan memanfaatkan bahan yang sama. Baik bentuk luar, konstruksi maupun interiornya.

2. Golongan B

Skor : 106 – 120

Mempertahankan sebanyak-banyaknya bagian bangunan. Bangunan baru atau tambahan tetap mempertahankan bentuk ketinggian bangunan aslinya atau bangunan utamanya. Perubahan dapat dilakukan sejauh tidak merusak atau mengganggu keserasian bangunan dan lingkungan

3. Golongan C

Skor : 36 – 105

Mempertahankan ciri utama bangunan yang berkaitan dengan nilai-nilai arsitekturnya, dengan memungkinkan penambahan bangunan baru tanpa mengurangi keserasian bangunan dan lingkungan serta karakter dan ciri khas bangunan utama.

4. Golongan D

Skor : 35

Membangun baru tetapi tetap meninggalkan salah satu atau sebagian khas bangunan. Pada kategori ini, hal-hal atau bagian bangunan yang dipertahankan hanya sedikit dan dapat dijadikan elemen ornamental.


http://saujana17.wordpress.com/2010/04/23/analisis-penilaian-bangunan-cagar-budaya/